Minggu, 15 Maret 2015

Ari Purnama: “Saya ingin buat film jujur yang mengeksplorasi budaya Indonesia.”


   Ari Purnama

 

 

Menurut Ari, kebanyakan film yang sukses terletak pada unsur kejujuran dalam menyampaikan cerita. They don’t pretend to be something they are not.”


Saat mengunjungi salah satu screening film Indonesia di CinemAsia pada 2014 lalu, BelindoMag sempat berkenalan dengan mahasiswa asal Bandung: Ari Purnama. Ari (33), yang sedang menjalani studi S3 bidang Film dan Komunikasi di Groningen, telah diundang pihak Cinemasia sebagai salah satu panelis untuk pemutaran film Sang Kiai (Rako Prijanto, 2013). Dengan luwes, spontan, dan bahasa Inggris yang fasih, mantan dosen bahasa Inggris di ITB Bandung itu berhasil menjawab semua pertanyaan yang dilempar oleh ketua panelis. Walau beberapa pertanyaan cenderung menyudutkan, terutama seputar isu-isu wanita, agama, dan politik, Ari mampu menanggapinya dengan jujur serta diplomatis.
Film Ari berjudul Onze Band met Rijst (The Attachment to Rice) yang diproduksi di Belanda juga termasuk dalam deretan film-film yang ditayangkan CinemAsia. Film yang berdurasi 15 menit itu bercerita tentang seorang ibu lansia yang dimasukkan ke dalam panti jompo oleh anak-anaknya. Ketika ditanya tentang impiannya, Ari menjawab, “Idealnya, saya ingin membuat film jujur yang mengeksplorasi budaya Indonesia.” Salah satu film yang sedang ia kembangkan adalah film berbahasa Sunda.
Berikut adalah percakapan BelindoMag dengan Ari mengenai pengalaman sekolah di Belanda, dunia perfilman secara global, dan tentunya perfilman Indonesia.
1. Saat ini Ari tengah mengambil S3 dalam bidang Film Studies di Universitas Groningen. Mengapa memilih bidang tersebut?
Awalnya, saya tidak tahu bahwa film bisa dipelajari secara akademis. Saya pikir hanya pembuat atau kritikus film yang boleh mengikutinya. Setelah lulus gelar Master saya (dalam bidang Cultural Studies di universitas yang sama), saya langsung tertarik mengambil bidang Film Studies bukan saja untuk mempelajari film tapi juga membuat film.
2. Bagaimana pengalaman Ari selama sekolah di Belanda?
Menurut Ari, sistem pendidikan di Belanda agak berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia. Ini sangat terlihat dengan adanya pembagian yang jelas antara studi praktek dan teori. Pembagian ini tidak saya alami ketika mengambil gelar bachelor (bidang Ilmu Komunikasi di Indonesia). Saya lebih cenderung melihat diri saya aktif di kedua dunia itu: a thinker and a doer. Menurut saya, kedua hal ini penting dalam membuat film.
3. Film perdana Ari adalah Onze Band met Rijst yang juga ditampilkan di CinemAsia. Bagaimana ide awal pembuatan film tersebut?
Ini bermula dari keingintahuan saya tentang interaksi antara generasi tua dan muda di Belanda. Saya kagum melihat orang-orang lansia Belanda yang masih cukup mandiri. Mereka masih mengendarai mobil, naik sepeda, dan belanja sendiri. Orang tua di Indonesia biasanya didampingi oleh anak-anak mereka. Tapi, saat saya mengetahui bahwa banyak orang lansia Belanda yang dimasukkan panti jompo dan banyak yang merasa kesepian, terinspirasilah saya untuk menulis skenario tentang hal ini.
4. Menurut Ari, faktor apa yang berperan dalam kesuksesan sebuah film?
Menurut Ari, kebanyakan film yang sukses terletak pada unsur kejujuran dalam menyampaikan cerita. They don’t pretend to be something they are not. Biasanya, film yang sukses di box-office adalah film yang mengikuti konvensi-konvensi film yang ada. Integritas strukturnya coherent. Flow dari adegan A ke adegan B juga sangat mulus. Convention is one thing, but you also have to play around with it, you have to give the film your own voice.
5. Film-film Asia dari Korea, Jepang, dan Thailand cukup sukses di pasaran internasional. Mengapa film Indonesia belum bisa dinikmati oleh penonton yang lebih luas?
Pembuat film di Korea dan Jepang, misalnya, cenderung mengeksplorasi tema dan gaya bercerita yang sangat mendasar pada kebudayaan mereka sendiri. Tapi, kita masih sangat dipengaruhi oleh Hollywood dari banyak segi. Film-film Indonesia belum punya karakteristik unik yang dapat ditawarkan ke penonton global. Kita pun masih ketinggalan dengan Thailand. Kembali lagi ke sistem pendidikan film itu sendiri. Di Indonesia, gaya cerita individualistik masih ditekan atau tidak dihimbau. Semua harus buat film yang sama dengan gaya cerita yang linear. Beberapa sudah ada, tapi film-film independent. Tapi, saya yakin ini akan berubah di tahun-tahun yang akan datang.
6. Contoh film karakteristik Indonesia itu seperti apa?
Menurut saya, film-film Benyamin S. adalah satu-satunya film Indonesia yang sangat mendekati model film etnik. Isinya sangat jujur dan subject matter-nya pun tidak prentensius—biasanya Benyamin menampilkan topik-topik yang dekat dengan folk culture terutama komunitas Betawi, seputar kehidupan sehari-hari Jakarta, parodi film internasional, dan isu urban kontemperor yang disajikan dengan humor yang ‘anarkik’ tapi efektif.
7. Bagaimana halnya dengan film The Raid karya Gareth Evans? Bisa dikatakan film ini satu-satunya film Indonesia yang sukses mendunia (Baca ulasan Ari tentang film The Raid di sini).
Memang dari segi konsep dan screenwriting Garreth Evans (pria asal Wales) yang mempunyai kontrol. Salah satu kunci kesuksesan dari film ini adalah kemampuannya menggabungkan sebuah produk budaya yang unik, yakni pencak silat, dengan medium yang sangat accessible sehingga mampu menarik dunia internasional.
8. Apa film Indonesia favorit Ari?
Saya sangat suka dengan film-film tahun 70-an dari Benyamin S., seperti Raja Copet dan Buaye Gile. Kalau film terbaru, saya suka dengan film Sagarmatha tentang perjalanan dua wanita muda menuju puncak Gunung Himalaya. Menurut saya, film ini bukan typical film Indonesia. Film ini unik dalam hal pemotretan karaker-karakternya: dua wanita, awal 30-an, single, kosmopolitan, dan berpendidikan tinggi. Untuk mencari jati diri, mereka mempertanyakan tentang kehidupan ‘lazim’ yang ditempuh mayoritas wanita Indonesia seusia mereka (menikah, punya anak, dsb.)
9. Kalau sutradara Indonesia favorit Ari?
Teddy Soeriaatmadjaja yang membuat film A Lovely Man dan Something in the Way. Dia tidak terlalu terpasung oleh batasan-batasan konvensi industri perfilman di Indonesia. Ia sangat konfiden dengan gayanya sendiri dan menggunakan tema-tema lokal. Gaya visualnya juga sangat menyolok. Film-filmnya cukup sukses di mainstream film Indonesia, bukan hanya di komunitas independen.
10. Film-film Indonesia tentu saja tidak lepas dari praktek censorship. Apa pendapat Ari tentang hal ini?

Menurut Ari, praktek sensor di Indonesia dapat dikatakan sangat ‘immature’. Mereka diburu dengan rasa ketakutan yang tidak mendasar. Sensor di Indonesia hanya berlaku pada hal-hal yang berbau seks, tetapi tidak mempunyai sistem rating untuk melarang anak-anak menonton kekerasan. Jadi, ada double standard antara seks dan kekerasan. Dari segi kreativitas bisa merugikan. Tapi, di sisi lain juga dapat menjadi sumber kreativitas. Batasan-batasan ini menuntut para pembuat film di Indonesia untuk lebih kreatif. Isu ini juga saya bahas dalam tesis saya yang berjudul “Collaborative Creativity Under Constraint.”
11. Pertanyaan terakhir, apa proyek-proyek Ari yang akan datang?
Ari sedang membuat screenplay tentang kehidupan tiga anak pesantren yang dianggap bermasalah. Ketiga anak ini mempunyai hobi bermain band black metal. Tentu saja, hobinya itu tidak didukung oleh pihak pesantren. Melalui film ini, Ari ingin memperlihatkan bahwa orang cenderung takut dengan hal-hal yang mereka tidak kenal: the fear of the unknown. Selain itu, Ari juga ingin memperlihatkan bahwa mencekal kreativitas anak dapat mempengaruhi perkembangan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar